Senin, 22 Desember 2025

SMA Surya Buana Malang Perkuat Refleksi Pembelajaran dan Supervisi Guru

Malang, Senin 22 Desember 2025 - SMA Surya Buana Malang melaksanakan Workshop Hari Pertama sebagai upaya penguatan kualitas pembelajaran dan profesionalisme pendidik. Kegiatan ini berfokus pada implementasi refleksi pembelajaran berbasis Deep Learning serta evaluasi dan refleksi hasil supervisi pembelajaran, dan diikuti oleh guru SMA Surya Buana Malang serta peserta dari Sekolah Nailu Falah sebagai sekolah mitra.

Materi pertama disampaikan oleh Dr. Fadillah Utami Prasetyaningtyas, S.Pd., M.Si., selaku Pengawas Sekolah Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Kota Malang. Dalam pemaparannya yang bertajuk Implementasi Refleksi Pembelajaran Berbasis Deep Learning, beliau menekankan pentingnya refleksi pembelajaran yang dilakukan secara mendalam dan berkelanjutan sebagai bagian dari peningkatan mutu pembelajaran.

Menurut Dr. Fadillah Utami, refleksi pembelajaran tidak hanya berfungsi untuk menilai capaian hasil belajar siswa, tetapi juga untuk memahami proses berpikir, keterlibatan, serta pengalaman belajar peserta didik secara menyeluruh.

“Refleksi pembelajaran berbasis deep learning membantu guru memahami proses belajar siswa secara lebih bermakna dan menjadi dasar perbaikan pembelajaran yang berkelanjutan,” jelasnya.

Materi kedua disampaikan oleh Drs. Tri Suharno, M.Pd., selaku Kepala Sekolah Defacto SMA Surya Buana Malang, dengan topik Evaluasi dan Refleksi Hasil Supervisi Pembelajaran. Dalam sesi ini, beliau menjelaskan bahwa supervisi pembelajaran merupakan bagian dari pembinaan profesional guru yang bertujuan meningkatkan mutu pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan.

“Hasil supervisi pembelajaran hendaknya dijadikan bahan refleksi bersama untuk menemukan solusi dan strategi pembelajaran yang lebih efektif, bukan sekadar sebagai penilaian administratif,” ungkapnya.

Seluruh rangkaian kegiatan workshop hari pertama ini dimoderatori oleh Fadhlur Rahman, M.Pd., yang mengarahkan jalannya diskusi secara interaktif dan komunikatif, sehingga peserta dari kedua sekolah dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan refleksi bersama.
Melalui kegiatan ini, SMA Surya Buana Malang bersama Sekolah Nailu Falah sebagai sekolah mitra berharap dapat memperkuat kolaborasi antarsekolah serta menumbuhkan budaya refleksi dan evaluasi pembelajaran yang berkelanjutan demi peningkatan mutu pendidikan.

Ketika Guru Diminta Ikhlas, Tapi Sistem Belum Sepenuhnya Adil

Dalam dunia pendidikan, kata ikhlas sering menjadi penenang sekaligus penutup diskusi. Ketika guru mengeluhkan beban kerja, kesejahteraan, atau ketidakpastian masa depan, jawaban yang sering terdengar adalah pengingat moral: “Guru harus ikhlas.”

Ikhlas adalah nilai luhur. Ia mencerminkan ketulusan dan pengabdian. Namun, persoalan muncul ketika ikhlas dijadikan pengganti kebijakan. Ikhlas adalah sikap batin individu, sedangkan kesejahteraan dan keadilan adalah tanggung jawab sistem.

Guru yang menyampaikan aspirasi sering kali dipersepsikan sebagai kurang bersyukur atau kurang ikhlas. Stigma ini membuat banyak guru memilih diam. Mereka takut dianggap tidak profesional atau tidak berdedikasi. Padahal, suara guru adalah data lapangan yang sangat penting bagi perbaikan pendidikan.

Pendidikan yang sehat membutuhkan dialog dua arah. Ketika guru tidak diberi ruang untuk menyampaikan kondisi riil, maka kebijakan berisiko jauh dari kenyataan. Sistem akhirnya berjalan di atas asumsi, bukan fakta.

Perlu dibedakan antara pengabdian dan pengabaian. Guru boleh berdedikasi, tetapi dedikasi tidak boleh dijadikan alasan untuk membiarkan ketimpangan berlangsung terus-menerus. Guru boleh ikhlas, tetapi sistem tetap wajib adil.

Beban moral yang terlalu besar justru berbahaya. Ia bisa melahirkan kelelahan berkepanjangan, menurunkan kualitas pembelajaran, bahkan mematikan semangat profesi. Pendidikan tidak akan maju jika pendidiknya terus bekerja dalam tekanan yang tidak terlihat.

Menghargai guru tidak selalu berarti pujian. Kadang, bentuk penghargaan paling nyata adalah kebijakan yang berpihak dan sistem yang mendukung. Memberi ruang dialog, memperbaiki tata kelola, dan memastikan keseimbangan antara tuntutan dan dukungan adalah langkah penting.

Ikhlas seharusnya menjadi kekuatan batin guru, bukan tameng bagi sistem untuk menghindari evaluasi. Pendidikan yang berkelanjutan dibangun di atas kejujuran, keberanian mendengar, dan kesediaan memperbaiki.

Refleksi untuk kita semua:
Apakah selama ini kita terlalu cepat menilai ketulusan guru, tetapi terlalu lambat memperbaiki sistem yang membebaninya?

Baca Juga : 
Guru Disebut Ujung Tombak Pendidikan, Tapi Mengapa Terasa Dibiarkan Tumpul?
Generasi Emas Tidak Akan Lahir dari Guru yang Dibiarkan Berjuang Sendirian

Sabtu, 20 Desember 2025

Guru Disebut Ujung Tombak Pendidikan, Tapi Mengapa Terasa Dibiarkan Tumpul?

Guru selalu menjadi tokoh sentral dalam setiap pembicaraan tentang pendidikan. Dalam berbagai forum resmi, pidato kenegaraan, hingga dokumen kebijakan, guru kerap disebut sebagai ujung tombak pendidikan. Ungkapan ini menggambarkan betapa pentingnya peran guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun di balik istilah yang terdengar mulia itu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang dibahas secara terbuka "apakah ujung tombak itu benar-benar dirawat oleh sistem yang menggunakannya?".


Dalam logika sederhana, sebuah tombak adalah alat. Ia memiliki pemilik, perawat, dan tujuan penggunaan. Tombak yang dibiarkan tanpa diasah akan kehilangan ketajamannya, bukan karena bahannya buruk, tetapi karena kurangnya perhatian. Analogi ini relevan ketika kita berbicara tentang guru dalam sistem pendidikan. Guru dituntut untuk selalu tajam, dalam ilmu, karakter, metode, dan keteladanan, namun sering kali dibiarkan mengasah dirinya sendiri.

Hari ini, guru tidak lagi hanya mengajar. Mereka juga dituntut menjadi fasilitator pembelajaran, pendamping emosional peserta didik, pengelola administrasi, sekaligus agen perubahan sosial. Kurikulum terus berkembang, teknologi semakin kompleks, dan karakter peserta didik semakin beragam. Semua itu menuntut kompetensi tinggi dan kesiapan mental yang tidak sederhana.

Namun, tuntutan besar itu tidak selalu berjalan seiring dengan dukungan yang memadai. Sebagian guru masih menghadapi persoalan kesejahteraan, beban kerja administratif yang berat, serta keterbatasan ruang untuk berkembang. Kondisi ini sering kali tidak terlihat di permukaan, tetapi sangat dirasakan dalam keseharian.

Ketika guru menyampaikan kegelisahan, respons yang muncul kerap normatif. Guru diingatkan tentang pengabdian, dedikasi, dan nilai keikhlasan. Nilai-nilai ini tentu penting dan menjadi ruh profesi guru. Namun, nilai moral tidak seharusnya digunakan untuk menutup mata terhadap persoalan struktural.

Menjadi guru bukan berarti menanggalkan kebutuhan hidup sebagai manusia. Guru memiliki keluarga, tanggung jawab sosial, dan kebutuhan masa depan. Mengharapkan kualitas pendidikan tinggi tanpa memastikan kondisi pendidiknya layak sama saja dengan membangun rumah megah di atas fondasi rapuh.

Jika guru adalah ujung tombak pendidikan, maka sistem pendidikan, baik lembaga maupun pemerintahan adalah pemilik tombak tersebut. Tanggung jawab pemilik bukan hanya menggunakan, tetapi juga merawat. Perawatan itu bisa berupa kebijakan yang adil, pelatihan berkelanjutan, serta perlindungan terhadap kesejahteraan dan martabat profesi.

Visi besar seperti Generasi Emas Indonesia membutuhkan fondasi yang kokoh. Fondasi itu tidak hanya berupa kurikulum dan infrastruktur, tetapi juga guru yang kuat secara profesional dan manusiawi. Tanpa perawatan yang memadai, ujung tombak pendidikan akan kehilangan daya dorongnya.

Tulisan ini bukan bentuk tudingan, melainkan ajakan refleksi. Pendidikan yang sehat tumbuh dari keberanian untuk melihat realitas apa adanya. Mengakui bahwa guru membutuhkan dukungan bukan berarti melemahkan sistem, justru memperkuatnya.

Pertanyaannya kini:
Apakah kita sudah cukup serius merawat mereka yang kita sebut sebagai ujung tombak pendidikan?

Baca Juga : 

Ketika Guru Diminta Ikhlas, Tapi Sistem Belum Sepenuhnya Adil
Generasi Emas Tidak Akan Lahir dari Guru yang Dibiarkan Berjuang Sendirian


Kamis, 18 Desember 2025

Generasi Emas Tidak Akan Lahir dari Guru yang Dibiarkan Berjuang Sendirian

Setiap bangsa memiliki mimpi besar tentang masa depannya. Indonesia menyebutnya Generasi Emas. Sebuah generasi yang cerdas, berkarakter, dan mampu bersaing di tingkat global. Namun, mimpi besar tidak akan terwujud tanpa fondasi yang kuat.

Fondasi itu adalah guru!

Tidak realistis berharap lahir generasi unggul jika pendidiknya hidup dalam ketidakpastian. Tidak adil menuntut kualitas pendidikan tinggi jika guru terus dibebani tuntutan tanpa dukungan yang seimbang. Generasi emas tidak lahir dari slogan, tetapi dari sistem yang konsisten merawat pendidiknya.

Guru yang merasa dihargai akan mengajar dengan kesadaran, bukan keterpaksaan. Guru yang sejahtera secara layak akan fokus pada peserta didik, bukan pada kecemasan hidup. Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kondisi psikologis dan profesional guru.

Kesejahteraan guru seharusnya dipandang sebagai investasi jangka panjang. Setiap kebijakan yang memperkuat guru akan berdampak langsung pada kualitas sekolah dan lulusan. Pendidikan yang kuat tidak lahir dari tekanan, tetapi dari ekosistem yang sehat.

Memperlakukan guru secara manusiawi bukan berarti menurunkan standar. Justru sebaliknya, standar tinggi membutuhkan dukungan tinggi. Guru yang kuat akan melahirkan peserta didik yang tangguh.

Sudah saatnya kita menggeser sudut pandang. Bukan lagi bertanya, “Apakah guru sudah cukup ikhlas?” tetapi, “Apakah sistem sudah cukup adil?” Bukan lagi mempertanyakan keluhan, tetapi menjadikannya bahan evaluasi.

Generasi emas dimulai dari keputusan hari ini. Keputusan untuk mendengar guru, merawat profesinya, dan memperjuangkan sistem pendidikan yang lebih berimbang. Jika guru diperkuat, masa depan bangsa ikut dikuatkan.

Pertanyaan kini:
Jika generasi emas adalah cita-cita bersama, sudahkah kita menyiapkan fondasinya dengan sungguh-sungguh?

Baca Juga : 
Guru Disebut Ujung Tombak Pendidikan, Tapi Mengapa Terasa Dibiarkan Tumpul?
Generasi Emas Tidak Akan Lahir dari Guru yang Dibiarkan Berjuang Sendirian

Minggu, 14 Desember 2025

Secangkir Kopi dalam Renungan Laki-Laki Muslim dan Amanah Kehidupan

Laki-laki Muslim duduk bersama, ditemani secangkir kopi di tangan masing-masing. Suasananya santai. Tidak ada jarak, tidak ada kesan menggurui. Hanya kebersamaan sederhana yang terasa akrab, seperti pertemuan kecil yang sering kali justru melahirkan obrolan paling jujur.
Kopi diminum pelan, sambil berbagi cerita ringan. Tentang pekerjaan, tentang keluarga, tentang hal-hal kecil yang kadang luput dari perhatian. Namun di balik obrolan santai itu, ada pikiran yang sama-sama bekerja. Tentang tanggung jawab yang terus berjalan. Tentang bagaimana tetap waras, jujur, dan istiqamah di tengah tuntutan hidup.

Tidak semua hal dibicarakan secara terbuka. Ada lelah yang cukup disimpan. Ada masalah yang cukup didoakan. Sesekali tawa pecah, bukan untuk menertawakan keadaan, melainkan untuk saling menguatkan. Mereka paham, hidup tidak selalu mudah, tetapi akan terasa lebih ringan jika dijalani bersama.
Sebagai laki-laki Muslim, mereka sadar bahwa amanah tidak pernah kecil. Menjadi suami, ayah, anak, atau sekadar sahabat, semuanya punya tanggung jawab masing-masing. Tidak harus selalu sempurna, yang penting terus belajar dan memperbaiki niat. Ikhtiar dijalani, doa tak ditinggalkan.
Saat kopi mulai habis, pertemuan pun mendekati akhir. Tidak ada nasihat panjang, tidak pula janji besar. Namun ada rasa tenang yang tersisa. Bahwa masing-masing akan kembali melangkah, membawa semangat baru dan keyakinan yang sama: menjalani hidup sebaik mungkin, dengan cara yang diridhai Allah.

Karena begitulah laki-laki Muslim,
yang diminumnya secangkir kopi bersama teman,
namun yang dipikirkannya adalah amanah kehidupan seisi bumi.



Rabu, 10 Desember 2025

“Langkah Pagi yang Mengubah Diri - Tanggung Jawab, Disiplin, dan Kesadaran Siswa SMA”

Pagi selalu datang membawa cerita baru. Langit yang perlahan berubah warna, udara yang masih menahan sisa dingin malam, dan langkah pertama yang diambil seseorang menuju hari yang belum ia ketahui seperti apa akhirnya. Di usia remaja yang sedang tumbuh menjadi dewasa, momen-momen itu seharusnya menjadi pengingat betapa pentingnya menghargai waktu. Namun sering kali, waktu lewat begitu saja tanpa disadari, seolah tak memiliki makna lain selain rutinitas yang harus dijalani.

Ada masa ketika keterlambatan dianggap hal sepele. Datang beberapa menit setelah bel berbunyi terlihat biasa saja. Namun seiring waktu, ada sesuatu yang berubah. Tanpa sebuah teguran, tanpa sebuah peringatan keras, muncul rasa yang sulit dijelaskan setiap kali kaki melangkah terlalu lambat. Ada penyesalan kecil yang tumbuh: penyesalan karena kehilangan kesempatan memulai hari dengan lebih siap, kehilangan bagian penting yang seharusnya didengar sejak awal, kehilangan rasa tenang yang penting untuk memahami pelajaran.

Dalam hati, tumbuh sebuah kesadaran bahwa menjadi pelajar di jenjang SMA bukanlah perkara menjalani rutinitas semata. Ini adalah masa ketika seseorang seharusnya belajar bertanggung jawab, bukan karena dituntut, tetapi karena memang sudah semestinya. Dunia tidak berhenti berputar hanya karena seseorang bangun terlambat. Masa depan tidak menunggu hanya karena seseorang berjalan lebih lambat dari yang seharusnya.

Kesadaran itu mungkin datang perlahan. Mungkin pada suatu pagi ketika melihat kelas sudah dimulai. Mungkin ketika tersadar bahwa waktu tidak pernah bisa diulang. Atau mungkin ketika hati mulai lelah dengan kebiasaan yang tidak pernah membawa kebaikan. Dari situlah muncul keinginan untuk berubah. Bukan perubahan besar yang langsung terlihat orang lain, tetapi perubahan kecil yang hanya diri sendiri yang benar-benar memahami nilainya.

Perubahan itu bisa dimulai dari hal sederhana, menata perlengkapan sebelum tidur, mematikan gawai lebih awal, berusaha tidur tepat waktu, lalu bangun dengan niat yang lebih kuat. Ketika langkah pertama diambil lebih awal, tubuh terasa lebih siap. Ketika tiba sebelum bel berbunyi, hati terasa lebih ringan. Ketika duduk di kelas sebelum pelajaran dimulai, pikiran menjadi lebih tenang dan mudah menerima apa yang disampaikan.

Datang tepat waktu ternyata bukan hanya bentuk disiplin, melainkan cara untuk menguatkan diri. Setiap pagi yang berhasil dilalui tanpa keterlambatan adalah bukti kecil bahwa diri mampu mengendalikan kebiasaan buruk. Ada kepuasan mendalam ketika berhasil mengalahkan rasa malas yang hanya datang untuk menghambat. Ada kebanggaan ketika mampu memilih tanggung jawab dibanding kenyamanan sesaat.

Anak SMA berada di usia ketika hidup mulai menuntut banyak hal. Masa depan mulai tampak, meski samar. Mimpi mulai terbentuk, meski belum lengkap. Keputusan-keputusan kecil yang diambil hari ini akan menjadi fondasi bagi keputusan besar yang akan diambil beberapa tahun ke depan. Karena itu, menghargai waktu bukan lagi sekadar bagian dari aturan sekolah, melainkan bagian dari kedewasaan yang sedang tumbuh dalam diri seseorang.

Mungkin tidak semua perubahan terlihat dari luar. Namun di dalam diri, ada sesuatu yang semakin kuat. Ada tekad yang bertambah setiap kali berhasil datang tepat waktu. Ada rasa percaya diri yang tumbuh setiap kali mampu menata hari dengan baik sejak pagi. Ada keyakinan bahwa masa depan yang baik dibangun bukan hanya dari kepintaran, tetapi dari kebiasaan kecil yang dilakukan konsisten.

Pada akhirnya, tanggung jawab bukan sekadar kata yang sering diucapkan. Ia adalah sikap yang diwujudkan melalui tindakan nyata. Ia hadir ketika seseorang mampu menahan diri dari kebiasaan buruk, dan memilih langkah yang lebih baik. Ia tampak ketika seseorang menghargai waktu sebagai bagian dari perjalanan menuju masa depan. Dan perubahan itu dimulai dari pagi hari yang tidak disia-siakan.

Karena sesungguhnya, seseorang yang mampu menghargai waktunya sendiri sedang membangun dirinya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih matang, dan lebih siap menghadapi dunia. Semua dimulai dari satu langkah sederhana: memilih untuk tidak terlambat lagi.


Selasa, 09 Desember 2025

Pesan Ayah yang Terus Hidup di Setiap Peristiwa

Tahun 2003, seorang anak laki-laki bungsu kelas VII MTs menjalani hidupnya dengan ringan. Hari-harinya dipenuhi permainan dan kesenangan sesaat. Ia menikmati apa pun yang membuatnya bahagia tanpa memikirkan lingkungan, sekitar, atau masa depan. Baginya, dunia cukup sejauh apa yang menyenangkan hari itu juga.

Suatu sore, ayahnya memanggilnya ke ruang tamu. Ada ketenangan yang berbeda, seolah yang akan disampaikan bukan sekadar nasihat biasa.

Sang ayah menatapnya lembut, lalu berkata dengan suara tegas yang memantul jauh ke dalam hati:

“Belajarlah. Lebih baik manusia yang mau belajar daripada alam yang menghajar.”

Anak itu terdiam. Kalimatnya sederhana, namun ia belum mengerti sepenuhnya. Ia hanya tahu ayahnya ingin ia berhenti membuang waktu untuk bermain dan mulai memperhatikan hidupnya.

Beberapa tahun kemudian, menjelang tahun 2011, ayahnya jatuh sakit. Di sela-sela waktu yang semakin sedikit, sang anak bertanya sekali lagi:

“Ayah… apa maksud Ayah dulu berkata begitu?”

Ayahnya tersenyum pelan.

“Belajarlah sampai kapan pun. Kelak kamu akan tahu.”

Itulah pesan terakhir yang ia dengar sebelum ayahnya dipanggil oleh Allah SWT.


Waktu Bergerak, dan Dunia Berbicara

Tahun-tahun berlalu. Anak itu tumbuh menjadi pendidik. Ia sering mengulang pesan ayahnya kepada murid-muridnya, meski maknanya masih terus ia gali perlahan.

Sementara ia tumbuh, dunia di sekitarnya ikut berbicara. Bukan lewat kata-kata, tetapi lewat peristiwa—satu per satu, semakin sering, semakin jelas.

Banjir di satu daerah.
Tanah longsor di tempat lain.
Cuaca ekstrem yang datang tak terduga.

Setiap bencana menyisakan cerita yang sama: manusia yang lalai, tidak belajar, merasa paling benar, dan mengejar keuntungan sesaat tanpa memikirkan sesama atau alam.

Ia mulai menyadari bahwa apa yang dulu ia dengar dari ayahnya bukan sekadar anjuran untuk rajin belajar di sekolah, melainkan ajakan untuk membuka mata terhadap kehidupan.

Bahwa belajar berarti peka terhadap lingkungan.
Belajar berarti mengoreksi diri.
Belajar berarti memahami bahwa setiap keputusan manusia berdampak pada alam.
Dan bila manusia enggan belajar, maka alam yang akan mengajari dengan caranya sendiri, dengan cara yang tidak bisa ditawar dan sering kali menyakitkan.


Ketika Tahun 2025 Menjadi Pengingat Besar

Puncaknya, pada tahun 2025, banjir besar melanda Sumatra. Rumah-rumah hanyut, keluarga kehilangan tempat tinggal, dan kerugian terjadi di mana-mana.

Ketika menyaksikan berita itu, ia merasa seolah mendengar suara ayahnya kembali, menggema dari masa lalu:

“Nak… lebih baik manusia yang mau belajar daripada alam yang menghajar.”

Dan ia tahu, itu bukan sekadar nasihat. Itu adalah peringatan yang berlaku untuk seluruh manusia.


Warisan Sebuah Kalimat

Kini, sebagai pendidik, ia tidak hanya mengulang nasihat itu kepada murid-muridnya, tetapi juga menanamkan maknanya:

Belajar bukan hanya untuk nilai.
Belajar bukan hanya untuk lulus.
Belajar adalah tentang menjadi manusia yang sadar, peduli, dan menghargai bumi serta sesama.

Karena selama manusia terus mengabaikan pelajaran, alam akan selalu mengingatkan.
Dan pengingat dari alam bukanlah sesuatu yang ingin kita rasakan lagi dan lagi.

Ia membawa pesan ayahnya ke setiap ruang kelas, setiap obrolan, setiap kesempatan:

“Belajarlah… sebelum alam yang menghajar.”

Semoga kisah ini menjadi penyemangat bagi siapa pun yang membacanya agar lebih peka, lebih peduli, dan lebih mau belajar, demi diri sendiri, demi orang lain, dan demi bumi yang terus kita tinggali.

Guru yang Pura-Pura Bodoh "Senjata Lama yang Masih Dipakai di Ruang Guru”

Di balik pintu ruang guru yang setiap pagi berderit dibuka, tersimpan sebuah kenyataan yang jarang diucapkan namun terasa oleh hampir semua yang bekerja di dalamnya. Sebuah strategi lama - nyaris seperti warisan tak tertulis - yang terus dipakai tanpa pernah benar-benar dibahas: guru yang pura-pura bodoh.
Fenomena ini bukan soal kurangnya kecerdasan atau ketidakmampuan. Justru sebaliknya. Dalam dinamika organisasi sekolah, ketika beban kerja tidak dibagi dengan seimbang, muncul kecenderungan yang semakin jelas: guru yang terlihat paling cerdas, paling siap, dan paling sigap sering kali menjadi sasaran pertama penugasan tambahan.

Setiap kali ada laporan mendesak, kegiatan mendadak, lomba yang butuh pembina baru, atau program yang “harus segera berjalan”, satu pola yang sama terus muncul, mereka yang aktif dan terlihat mampu akan dipanggil lebih dulu. Tidak ada perjanjian tertulis, tidak ada aturan resmi, tetapi kebiasaan itu mengakar begitu kuat hingga menjadi budaya.

Ironisnya, gaji yang diterima tetap sama. Apresiasi tidak selalu hadir. Kelelahan justru sering kali memulai babak baru, sementara rekan lain berjalan lebih ringan tanpa tekanan yang sama.

Dari sinilah senjata lama itu muncul - sebuah pilihan sunyi untuk bertahan. Pura-pura tidak tahu. Pura-pura tidak begitu mahir. Pura-pura biasa saja. Bukan untuk menghindar dari tanggung jawab, melainkan untuk menghindari ketimpangan yang terus berulang. Sebuah mekanisme perlindungan diri di tengah sistem yang belum mendukung pemerataan beban kerja.
Ruang guru yang tampak tenang itu menampung banyak cerita terselubung. Ada kecemasan akan tugas yang selalu bertambah, ada kelelahan yang tidak bisa diungkapkan dalam rapat, ada harapan kecil agar pembagian pekerjaan suatu hari menjadi lebih adil.

Judul itu bukan sekadar kalimat: Guru yang Pura-Pura Bodoh "Senjata Lama yang Masih Dipakai di Ruang Guru”
Ia adalah gambaran dari sebuah realitas yang selama ini dibiarkan berjalan dalam diam. Realitas yang menunjukkan bahwa kecerdasan terkadang menjadi beban, bukan kelebihan; bahwa keaktifan bisa berubah menjadi kutukan yang tidak diakui; dan bahwa strategi pura-pura bodoh bukanlah trik licik - melainkan tanda bahwa ada sesuatu yang belum benar dalam organisasi sekolah.

Selama ketimpangan itu tetap terjadi, selama beban tidak dibagi dengan bijak, strategi lama itu akan tetap hidup. Diam. Tak terlihat. Namun selalu hadir - di antara meja guru, tumpukan berkas, dan senyum yang tampak biasa-biasa saja.


Sabtu, 06 Desember 2025

Nasehat Abah Sukri Hadirkan Pesan Moral yang Mendalam

Dalam penyampaiannya, Abah Sukri membawakan rangkaian nasihat yang penuh makna dan relevan bagi kehidupan sehari-hari. Dengan tutur kata yang khas, beliau menekankan bahwa hubungan yang baik tidak dibangun secara tergesa-gesa Nasehat Abah Sukri Hadirkan Pesan Moral yang Mendalam melainkan melalui proses yang wajar dan bertahap. Hal ini tercermin dari pesannya, Jodoh itu berawal dari konco, dilanjut dulur, baru rabi.” Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa pertemanan adalah fondasi awal, peran keluarga menjadi penguat, dan pernikahan merupakan langkah akhir ketika semuanya sudah selaras.

Selain membahas tentang hubungan, Abah Sukri memberikan penegasan tentang pentingnya empati. Melalui kalimat, Sakitmu yo sakitku, bahagiamu yo bahagiaku,” beliau mengingatkan bahwa rasa saling memahami adalah kunci menciptakan kedekatan yang tulus. Empati tidak hanya mempererat hubungan, tetapi juga menjadikan seseorang lebih peka terhadap kondisi orang lain di sekitarnya.

Di akhir penyampaiannya, Abah Sukri memberikan pesan motivatif mengenai pentingnya evaluasi diri. Ia menyampaikan bahwa seseorang berada dalam kerugian apabila hari ini keadaannya lebih buruk daripada hari sebelumnya. Pesan ini mengajak setiap individu untuk terus memperbaiki diri, mengembangkan kualitas hidup, dan menjaga konsistensi dalam perubahan positif.

Rangkaian nasihat tersebut menghadirkan refleksi mendalam tentang nilai kehidupan: hubungan yang tumbuh melalui proses, empati yang menguatkan, dan perbaikan diri yang harus dilakukan tanpa henti.

Rabu, 03 Desember 2025

Bangun Penghasilan dari Rumah dengan Pemanfaat Teknologi dan Produk Digital 2026

Zaman digital membuka peluang besar untuk siapa pun menghasilkan uang dari rumah. Melalui program ini, Anda akan belajar cara paling mudah, cepat, dan terbukti untuk mendapatkan penghasilan tanpa perlu modal besar atau pengalaman sebelumnya. 
Mengurangi tingkat capek untuk memasukkan lamaran yang belum pasti. Anda bisa memanfaatkan teknologi untuk sumber rejeki, dan sangat mudah di aplikasikan.

salah satunya dalam 2 hari bisa berpenghasilan mencapai puluhan sampai belasan juta bahkan ada yang lebih.

 
Kelas ini hadir untuk membantu Anda memahami proses, strategi, dan langkah praktis dalam memanfaatkan produk digital secara etis dan profesional.

Kelas Ini Cocok Untuk Anda Jika:

Kuota Terbatas Hanya Untuk 100 orang pertama di bulan desember 2025.


Biaya Investasi Normal 1.000.000  rupiah.
Anda Bisa tebus sekarang dengan Diskon 85%.
Buktikan sendiri dengan Join klik Disini